TUGAS MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PENGERTIAN TASAWUF
KELOMPOK V :
1.
Ati Nursari
2.
Anugerah
Muhammad
3.
Diana Zulfah
4.
Nuralficia Intan .A
5.
Virgiana Yudhi
.W
1IB01
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji dan
syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat-Nya sehingga Makalah Tasawuf ini
dapat dapat selesaikan dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini dibuat sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan
presentasi kelompok Pendidikan Agama Islam yang merupakan kegiatan penunjang
mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Penyusun
menyakini bahwa dalam pembuatan Makalah ini telah dibuat dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
Penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1) Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
2) Kedua orang tua kami, yang telah mendukung, serta telah
mendo’akan kami agar kami bisa menjalani kuliah dengan baik.
3) Bapak Apipudin, S.Th.,I.,MA.Hum, selaku dosen kami dalam
mata kuliah Pendidikan Agama Islam, yang telah mempercayai kami untuk
mempresentasikan materi tentang Tasawuf.
4) Rekan-rekan sekelompok kami, yang telah berusaha
semaksimal mungkin dalam pembuatan makalah tasawuf.
5) Teman-teman kelas 1IB01, yang telah mendukung dan memberi
saran agar makalah tasawuf ini bisa menjadi referensi makalah bagi teman-teman
yang lain jika ingin membahas materi seputar tasawuf.
6) Serta semua pihak yang telah membantu baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Semoga
Allah SWT selalu meridhai segala usaha kita. Amin.
Depok,
13 April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………… i
KATA
PENGANTAR………………………………………………………….. ii
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………iii
BAB
I PENDAHULUAN……………………………………………………… 1
a. Latar Belakang………………………………………………………….. 1
b. Tujuan…………………………………………………………………… 1
c. Ruang Lingkup Materi…………………………………………………... 2
BAB
II ISI………………………………………………………………………. 3
a. Pengertian
Tasawuf, Sejarah Penamaan Dan Ajaran-ajarannya………… 3
b. Arti Kata Tasawuf Hakikat Dan
Hukumnya Menurut Islam Serta Penyimpangan Dalam
Tasawuf…………………………………………. 11
BAB
III PENUTUP……………………………………………………………... 14
a.
Kesimpulan……………………………………………………………....
14
b.
Kritik dan
Saran…………………………………………………………. 16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………… 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama-agama di
dunia ini banyak
sekali yang menganut berbagai macam
tasawuf, di antaranya
ada sebagian orang India yang amat fakir. Mereka
condong menyiksa diri sendiri demi membersihkan jiwa dan
meningkatkan amal ibadatnya.
Dalam agama
Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi para pendeta. Di Yunani muncul
aliran Ruwagiyin. Di Persia ada
aliran yang bernama Mani'; dan di negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrim di bidang
rohaniah.
Kemudian Islam datang dengan membawa
perimbangan yang paling baik di antara
kehidupan rohaniah dan
jasmaniah serta
penggunaan akal. Dalam agama Islam banyak sekali
pendapat seputar penjelasan definisi tasawuf, yang akan kami jelaskan pada
makalah ini dan dari segala penjelasan definisi tasawuf tersebut dapat ditarik benang merah bahwa
pada dasarnya ajaran-ajaran tasawuf murni berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah.
Seorang sufi adalah seorang yang konsisten mengerjakan dan berpegang teguh
dengan syari’at Allah, mengekang hawa nafsunya pada makan, minum, cara
berpakaian, dan hal-hal lainnya. Dalam perkara-perkara duniawi seorang sufi
hanya mengambil kadar tertentu secukupnya. Ia habiskan setiap waktu dari
kehidupannya dalam beribadah kepada Allah; dengan melaksanakan segala
kewajiban-kewajiban, menjauhi segala larangan-langan-Nya dan memperbanyak
perbuatan-perbuatan yang sunnah.
Karena
segala penjelasan dan definisi tasawuf yang beraneka ragam maka kami tertarik
untuk mengambil tema makalah tentang “Tasawuf”, Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
B.
Tujuan
Tujuan utama ditulisnya makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas
Presentasi dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam,
serta untuk mengembangkan pengetahuan mahasiswa tentang seputar ruang lingkup
tasawuf.
C.
Ruang Lingkup
Materi
Dalam
makalah ini materi yang dibahas sebagai berikut :
a.
Pengertian
tasawuf
b.
Sejarah Penamaan
Tasawuf
c.
Ajaran-Ajaran
Tasawuf
d.
Arti Kata Tasawuf Hakikat Dan Hukumnya Menurut Islam
e.
Penyimpangan Dalam Tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf, Sejarah Penamaan Dan
Ajaran-ajarannya
Pembahasan
tentang akidah hulûl dan wahdah al-wujûd tidak dapat dilepaskan
dari kajian tasawuf. Karena segala aspek yang terkait dengan dua akidah
tersebut biasanya timbul dalam wilayah tasawuf. Di dalam tasawuf, kaum sufi itu
sendiri pada dasarnya terbagi kepada dua bagian; kaum sufi sejati (ash-Shûfiyyah
al-Muhaqqiqûn) dan kaum sufi gadungan (Ghair al-Muhaqqiqîn).
Pembagian semacam ini umumnya juga berlaku pada disiplin keilmuan atau
komunitas lainnya. Realitas inilah yang mendorong salah seorang sufi besar di
masanya, yaitu al-Hâfizh Abu Nu’aim menuliskan sebuah karya besar
tentang biografi kaum sufi sejati dengan ajaran-ajarannya yang berjudul Hilyah
al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh
beliau sendiri di permulaan kitab tersebut bahwa yang mendorongnya menuliskan
kitab ini adalah untuk membedakan antara kaum sufi sejati dan kaum sufi
gadungan. Bahkan Ungkapan-ungkapan al-Hâfizh Abu Nu’aim dalam menyerang
kaum sufi gadungan cukup keras. Beliau menamakan mereka sebagai orang-orang
pemalas, karena tidak sedikit dari mereka adalah orang-orang mulhid berakidah
hulûl, ittihâd atau kaum Ibâhiyyah (kaum yang menghalalkan
segala sesuatu). Beliau juga mengatakan bahwa menyebutkan kesesatan-kesesatan
kaum sufi gadungan dan menghindarkan diri dari mereka adalah kewajiban yang
telah dibebankan oleh syari’at atas setiap orang muslim. Karena hanya dengan
demikian kemurnian ajaran Islam dapat terjaga. Juga hanya dengan cara ini,
orang-orang yang saleh dari para wali Allah dapat diposisikan secara
proporsional dengan tidak mencapuradukan antara mereka dengan kaum sufi
gadungan yang notabene orang-orang sesat.
Demikian pula Imam al-Qusyairi
dengan kitab tasawuf fenomenalnya, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, beliau
mengatakan bahwa yang mendorongnya menuliskan kitab tersebut adalah untuk
membedakan antara sifat-sifat kaum sufi sejati dari kaum sufi gadungan. Pada
pembukaan kitabnya ini Imam al-Qusyairi menulis sebuah sub judul; “Dawâfi’
Ta’lîf Hâdzihi ar-Risâlah (Sebab-sebab yang mendorong dituliskan risalah
ini)”, bahwa salah satunya untuk tujuan tersebut.
Bahkan
sebelum datang Imam al-Qusyairi, Imam Abu Nashr as-Sarraj dalam karya besarnya,
al-Luma’ telah menjelaskan bahwa keberadaan sufi gadungan di masa beliau
hidup sudah mulai merebak di kalangan orang-orang Islam. Tentang kondisi ini,
dalam kitab al-Luma’ Imam as-Sarraj berkata:
“Ketahuilah bahwa di zaman kita ini
banyak orang-orang yang telah terjerumus dalam ilmu-ilmu kelompok ini (kaum
sufi). Dan telah banyak pula orang yang mengaku-aku ahli tasawuf. Mereka seakan
dapat memberikan petunjuk kepada ilmu-ilmu tasawuf dan dapat menjawab segala
permasalahan-permasalahannya. Setiap orang dari mereka seakan memiliki rujukan
kitab bagi dirinya yang ia banggakan, atau memiliki perkataan-perkataan yang
sudah sangat akrab dengan dirinya, padahal mereka sama sekali tidak memahami
hakekat tasawuf tersebut. Padahal para ulama sufi terdahulu (ash-Shûfiyyah
al-Muhaqqiqûn) yang berbicara dalam masalah tasawuf ini dengan segala
kandungan-kandungan bijak di dalamnya, mereka hanya berbicara setelah melewati
berbagai rintangan dalam menjalani tasawuf itu sendiri (Qath’a al-‘Alâ’iq),
mengalahkan berbagai hawa nafsu dengan mujâhadah, riyâdlah dan lainnya.
Artinya, bahwa mereka masuk dalam medan tasawuf setelah mereka benar-benar
mengetahui ilmu-ilmu agama dan telah beramal dengannya.
Tasawuf
yang didefinisikan sebagai ajaran yang mementingkan kehidupan akhirat dari pada
kehidupan dunia, penamaannya belum dikenal pada abad permulaan. Tasawuf baru
dikenal sebagai sebuah nama atau sebagai disiplin yang melembaga pada sekitar
abad ke dua hijriah[4]. Namun demikian secara faktual nilai-nilai tasawuf itu
sendiri adalah sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Oleh
karena itu dalam pandangan as-Sarraj, penyebutan istilah tasawuf sebenarnya
sudah dikenal di kalangan sahabat Rasulullah. as-Sarraj membantah pendapat yang
menyebutkan bahwa istilah tasawuf pertama kali dimunculkan oleh para ulama
Baghdad. Beliau mengatakan bahwa fenomena perjumpaan para sahabat Rasulullah
dengan Rasulullah sendiri serta keimanan mereka kepada Rasulullah adalah
tingkatan tertinggi dalam derajat al-Ahwâl. Argumen kuat bagi hal ini,
menurut as-Sarraj, adalah perkataan Imam al-Hasan al-Bashri, --seorang tabi’in
yang pernah belajar langsung kepada sahabat Ali ibn Abi Thalib dan beberapa
sahabat lainnya--, bahwa beliau berkata: “Aku melihat seorang sufi dari
kalangan sahabat sedang melakukan thawaf”.
As-Sarraj
juga mengutip ucapan Imam Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia berkata: “Kalau bukan
karena Abu Hasyim ash-Shufi maka aku tidak akan pernah mengenal makna riya’
secara detail”. Imam Sufyan ats-Tsauri dalam perkataannya ini menamakan Abu
Hasyim dengan “ash-Shûfi”, artinya seorang ahli tasawuf. Sementara itu
Abu Hasyim adalah seorang yang seringkali belajar atau mengutip riwayat dari
sahabat Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar. Dan sahabat Rasulullah yang terakhir
disebut ini adalah di antara sahabat yang paling banyak menceritakan kaum sufi
di kalangan sahabat Rasulullah sendiri.
Tentang
sejarah timbul nama tasawuf, ada berbagai pendapat membicarakan hal tersebut.
Satu pendapat mengatakan bahwa asal penamaan tasawuf disandarkan kepada Ahl
ash-Shuffah; yaitu sebuah komunitas sahabat Rasulullah dari kaum Muhajirin
yang selalu berdiam diri di masjid Nabawi. Sifat-sifat para sahabat dari Ahl
ash-Shuffah ini sangat khas, seperti sifat zuhud, mementingkan orang lain,
tidak banyak bergaul dengan khlayak, tidak terkait dengan kesenangan duniawi, dan
hanya mementingkan akhirat.
Pendapat
lain mengatakan bahwa penamaan tasawuf timbul dari sebuah hadits. Diriwayatkan
bahwa suatu hari Rasulullah keluar rumah dengan warna muka yang lain dari
biasanya, tiba-tiba beliau bersabda:
ذَهَبَ صَفْوُ الدّنيَا وَبَقِيَ
الكَدَرُ، فَالْمَوْتُ اليَوْمَ تُحْفَةٌ لِكُلّ مُسْلِمٍ (رَوَاهُ
الدّارَقُطْنيّ)
“Kemurnian dunia
telah pergi, dan hanya tersisa kekeruhan, maka kematian hari ini adalah harapan
berharga bagi seorang muslim” (HR. ad-Daraquthni)
Dalam
hadits ini disebutkan kata “shafw ad-dunyâ”. Kata “shafw”
dimungkinkan sebagai akar dari kata “tasawuf”. Oleh karenanya di kemudian hari,
di antara landasan pokok dalam ajaran tasawuf adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam hadits ini, yaitu dari sabda Rasulullah bahwa kematian adalah
“pembendaharaan” yang ditunggu-tunggu dan paling berharga bagi seorang muslim.
Dari pemahaman hadits ini kemudian dikenal istilah tasawuf.
Pendapat
lain mengatakan bahwa nama tasawuf diambil dari akar kata “ash-Shûf”
yang berarti kain wol yang kasar. Penamaan ini diambil dari kebiasaan kaum sufi
yang selalu memakai kain wol kasar karena sikap zuhud mereka. Pendapat lain
mengatakan tasawuf di ambil dari akar kata “Shafâ” yang berarti suci murni.
Pendapat lainnya mengatakan berasal dari akar akar kata “ash-Shaff” yang
berarti barisan. Pendapat terakhir ini secara filosofis untuk mengungkapkan
bahwa komunitas sufi seakan berada di barisan terdepan di antara orang-orang
Islam dalam kesucian hati dan dalam melakukan segala perintah Allah dan
Rasul-Nya.
Al-Hâfizh Abu Nu’aim dalam kitab Hilayah al-Auliyâ’ mengatakan
bahwa kemungkinan pengambilan nama tasawuf secara bahasa setidaknya berasal
dari salah satu dari empat perkara. Walau demikian empat perkara ini tidak
hanya sebagai pengertian bahasa semata, namun juga secara hekekat merupakan
kandungan dari nilai-nilai tasawuf itu sendiri. Artinya bahwa empat perkara ini
termasuk di antara sifat-sifat yang dipegang teguh oleh kaum sufi, ialah sebagai
berikut:
Pertama; kata tasawuf dapat berasal
dari ash-Shûfânah yang berati tanaman rerumputan atau semacam
sayuran-sayuran. Secara hakekat pengambilan nama tasawuf dari ash-Shûfânah ini
adalah benar. Ini kerena kaum sufi sedikitpun tidak pernah berharap kepada
sesama makhluk. Mereka telah merasa cukup dan puas dengan apapun dan
seberapapun rizki yang dikaruniakan oleh Allah kepada mereka. Di antara yang
membenarkan pendapat ini adalah pernyataan sahabat Sa’ad ibn Abi Waqqash, bahwa
ia berkata: “Demi Allah sesungguhnya saya adalah orang Arab yang pertama kali
berperang dengan panah di jalan Allah. Dan kami telah berkali-kali berperang
bersama Rasulullah. Saat itu kami tidak memiliki makanan yang dapat kami makan,
kecuali berasal dari dedaunan. Dalam keadaan itu kami tidak ubahnya seperti
kambing-kambing”.
Ke dua; kata tasawuf dapat berasal
dari ash-Shûfah yang berarti kabilah. Pengambilan nama tasawuf dari kata
ini juga memiliki dasar yang cukup kuat. Karena kaum sufi adalah sebagai kaum
yang memiliki identitas tersendiri yang khas di antara berbagai komunitas
lainnya. Di antara ciri khasnya ialah bahwa seluruh waktu yang mereka miliki
dipergunakan hanya untuk ibadah kepada Allah, setiap tenaga yang mereka miliki
hanya dijadikan dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah, dan bahwa segala
konsentrasi hanya tercurahkan kepada-Nya saja. Sifat kaum sufi semacam ini
seperti tersirat dalam sebuah hadits ketika Rasulullah berkata kepada sahabat
Ali ibn Abi Thalib:
يَا عَلِيّ إذَا تَقَرَّبَ النّاسُ إلَى
خَالِقِهِمْ فِي أبْوَابِ البِرّ فَتَقَرَّبْ إلَيْهِ بأنْوَاعِ العَقْلِ
تَسْبِقهُمْ بالدّرَجَاتِ وَالزّلفَى عِنْدَ النّاسِ فِي الدّنيَا وَعِنْدَ اللهِ
فِي الآخِرَةِ (رواه الحافظ أبو نعيم)[13]
“Wahai Ali jika
orang-orang mendekatkan diri kepada Pencipta mereka dengan berbagai kebaikan,
maka mendekatkan dirilah engkau kepada-Nya dengan mempergunakan akal
(berfikir). Dengan begitu engkau akan mendahului mereka dalam meraih derajat
dan “kedekatan” (kemuliaan) di antara sesama manusia di dunia dan kepada Allah
di akhirat”. (HR. Abu Nu’aim).
Ke tiga; kata tasawuf dapat diambil
dari Shûf al-Qafâ, yang secara bahasa berarti bulu atau rambut bagian
belakang kepala. Secara filosifis hal ini berarti menggambarkan bahwa kaum sufi
adalah orang-orang yang hanya berserah diri kepada Allah. Ketundukan,
kepasrahan, dan keyakinan mereka kepada Allah tidak dapat tergoyahkan oleh
situasi dan kondisi apapun. Di antara hal yang melandasi kebenaran ajaran ini
adalah hadits Rasulullah yang menceritakan tentang Nabi Ibrahim. Diriwayatkan
bahwa ketika Nabi Ibrahim hendak dilemparkan oleh Namrud ke dalam api, maka
seluruh makhluk Allah menjadi gelisah. Kemudian setiap makhluk tersebut, dari
mulai langit, bumi, angin, awan, hujan, gunung-gunung, matahari, bulan, arsy,
kursi, para malaikat, dan lain sebagainya meminta kepada Allah agar
diperkenankan menolong Nabi Ibrahim. Namun setiap permohonan mereka dijawab
oleh Allah: “Ibrahim adalah hamba-Ku, jika ia minta pertolongan kepadamu maka
tolonglah ia, namun jika ia tidak memintanya maka tinggalkanlah ia”. Bahkan
saat Nabi Ibrahim sudah diletakkan di atas manjanik (semacam ketepel berbentuk
besar) handak dilemparkan, malaikat Jibril datang kepadanya. Setelah
mengucapkan salam, jibril berkata: “Wahai Nabi Allah, saya adalah Jibril, adakah
engkau membutuhkan pertolonganku?”. Nabi Ibrahim dengan tawakkal dan keyakinan
yang kuat berkata: “Darimu aku tidak membutuhkan apapun, aku hanya membutuhkan
Allah”. Akhirnya, ketika Nabi Ibrahim hendak jatuh ke dalam api maka datang
perintah dari Allah kepada api untuk menjadi dingin yang memberi keselamatan
kepada Nabi Ibrahim. Maka di saat itu pula api di seluruh pelosok dunia menjadi
dingin, tidak ada sedikitpun makanan yang dapat dimasak oleh api. Allah
memerintahkan kepada api tersebut untuk menjadi dingin yang memberikan
keselamatan, karena bila tidak demikian maka Nabi Ibrahim akan sangat
kedinginan di dalam api dan dapat membahayakannya. Dalam satu riwayat
disebutkan bahwa Nabi Ibrahim berkata: “Ketika aku berada di dalam api selama
empat puluh hari lebih, tidak ada waktu malam dan dan tidak ada siang yang
pernah aku rasakan di dunia ini yang lebih baik dari ketika aku berada dalam
api tersebut, bahkan aku berharap seandainya seluruh hidupku berada di dalam
api tersebut”.
Ke empat; Diambil dari kata ash-Shûf
dalam pengertian bulu domba. Hal ini karena umumnya kaum sufi memakai pakaian
wol kasar yang berasal dari bulu domba. Keadaan ini menunjukkan sikap zuhud
mereka. Karena kain wol yang berasal dari bulu domba semacam yang mereka pakai
ini tidak membutuhkan biaya. Di samping itu bahwa kain semacam itu menjadikan
penggunanya sebagai orang yang memiliki sifat merendahan diri, menghinakan
diri, tawadlu, qana’ah dan sifat-sifat khas lainnya. Sahabat Abu Musa
al-Asy’ari berkata bahwa Rasulullah sering kali memakai pakaian yang berasal
dari kain wol, menaiki keledai, dan datang kepada orang-orang lemah dan para
fakir miskin. Kemudian al-Hasan al-Bashri berkata: “Saya bertemu dengan tujuh
puluh orang sahabat Nabi yang telah ikut dalam perang Badar, dan saya tidak
melihat pakaian mereka kecuali berasal dari kain wol”.
Imam Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir dalam
karyanya, al-Burhân al-Mu-ayyad menyebutkan bahwa asal penamaan tasawuf
ini cukup unik, banyak orang yang tidak mengetahuinya, bahkan oleh kaum sufi
sendiri. Ialah terdapat sekelompok orang dari kaum Mudlar, yang disebut dengan Banî
ash-Sûfah (keturunan-keturunan ash-Sufah), dan ash-Sufah ini adalah seorang
yang nama aslinya al-Ghauts ibn Murr ibn Ad ibn Thabikhah ar-Rabith. Disebutkan
bahwa ibunda dari al-Ghauts tidak pernah punya anak laki-laki yang hidup.
Kemudian ia bernadzar bila melahirkan anak laki-laki dan hidup hingga dewasa
maka ia akan selalu mengikatkan kain wol (shûfah) pada kepala anak
tersebut. Kemudian lahirlah kemudian al-Ghauts, dan dari al-Ghauts inilah
kemudian lahir keturunan-keturunan yang yang dikenal Banî ash-Shûfah.
Hingga kemudian setelah datang agama Islam maka mereka masuk ke dalam Islam dan
menjadi orang-orang saleh ahli ibadah. Beberapa diantaranya adalah
sahabat-sahabat Rasulullah yang telah meriwayatkan hadits. Dari sini kemudian
dikenal penamaan bagi orang-orang yang dekat dengan sahabat nabi dari Banî
ash-Shûfah tersebut, atau bergaul dengan mereka, atau yang mengambil hadits
dari mereka, atau bahkan yang hanya berpakaian dan ahli ibadah seperti mereka,
bahwa mereka sebagai orang-orang sufi. Adapun definisi tasawuf yang beragam dan
banyak diungkapkan oleh kaum sufi sendiri, menurut Imam Ahmad ar-Rifa’i, lebih
didasarkan kepada jalan atau media yang dipakai dalam menjalani tasawuf itu
sendiri. Karena itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari
kata “Shafâ”, ada pula yang mengatakan dari kata “Mushâfât”, dan
berbagai definisi lainnya. Namun demikian, dengan melihat kepada nilai-nilai
yang ada di dalam tasawuf itu sendiri semua definisi tersebut adalah benar.
Dalam pandangan as-Suhrawardi, pengambilan nama tasawuf dari kata ash-Shûf dapat
diterima secara bahasa. Hal ini juga didasarkan kepada kebiasaan kaum sufi yang
selalu berpakaian yang terbuat dari kain wol yang kasar. Hanya saja yang harus
ditekankan disini adalah unsur filosofinya, ialah bahwa penisbatan kata tasawuf
kepada kain wol adalah sebagai ungkapan bahwa kaum sufi adalah orang-orang
fakir yang tidak pernah mementingkan dunia. Mereka berlaku zuhud dengan
memerangi hawa nafsu, bahkan dalam dalam berpakaian mereka menghindari
pakaian-pakaian yang lembut dan menyenangkan. Dari sinilah seorang pemula yang
hendak masuk ke dalam wilayah tasawuf ia diajarkan untuk berlaku zuhud semacam
itu. Zuhud tidak hanya berlaku dalam kesederhanaan makanan tapi juga dalam
kesederhanaan berpakaian.
Masih menurut as-Suhrawardi, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penamaan
tasawuf tersebut berasal dari akar kata “ash-Sûfah”, yang berarti
secarik kain wol yang tidak berharga. Penamaan ini untuk menggambarkan bahwa
kaum sufi adalah kaum yang mencampakkan diri dalam wilayah kefakiran,
kemiskinan, ketawadluan, kerendahan diri, keterasingan dan menjauh dari
keramaian. Layaknya secarik kain wol yang usang, mereka adalah orang-orang yang
sama sekali tidak dihiraukan oleh orang kebanyakan. as-Suhrawardi melihat
penisbatan kaum sufi kepada kaim wol (ash-Shûfah) dengan filosofis
semacam ini secara bahasa dapat dibenarkan. Pendapat ini dapat dibuktikan
karena hingga sekarang tidak sedikit dari orang-orang saleh ahli ibadah dan
orang-orang zuhud yang masih tetap memakai kain wol yang kasar tersebut.
Berikut ini pernyataan ulama-ulama sufi tentang definisi tasawuf dan
ajaran-ajarannya.
Imam al-Junaid al-Baghdadi, pimpinan
kaum sufi (Sayyid ath-Thâ-ifah ash-Shûfiyyah), berkata: “Tasawuf ialah
keluar dari setiap akhlak yang tercela dan masuk kepada setiap akhlak yang
mulia”.
Pada kesempatan lain beliau berkata:
“Kita tidak mengambil tasawuf dengan banyak berbicara (al-Qâl Wa al-Qîl).
Kita mengambil tasawuf dengan banyak lapar (puasa), bangun malam, dan
meninggalkan segala kenikmatan-kenikmatan”.
Secara lebih definitif tentang
tasawuf dengan beberapa pokok ajaran yang terkait dengannya, Imam al-Junaid
al-Baghdadi berkata:
“Tasawuf
adalah sebuah nama yang mengandung sepuluh pokok ajaran. Pertama; menyedikitkan
benda-benda duniawi dan tidak memperbanyaknya. Dua; berserah diri kepada Allah.
Tiga; cinta kepada ketaatan dengan mengerjakan segala hal yang disunnahkan.
Empat; sabar dari kehilangan dunia dengan tidak mengeluh dan meminta-minta.
Lima; memilih-milih sesuatu ketika hendak mengambil atau mengerjakannya. Enam;
Hanya sibuk dengan Allah dari segala apapun. Tujuh; banyak melakukan dzikir khafyy.
Delapan; ikhlas dalam segala perbuatan hanya karena Allah saja. Sembilan;
keyakinan yang kuat. Sepuluh; tenang dengan Allah ketika kedatangan rasa gelisah
dan dalam keterasingan”.
Imam
al-Qusyairi berkata: “Allah telah menjadikan kaum sufi ini sebagi orang-orang yang
suci dari para walinya”. Secara lebih definitif tentang seorang sufi Imam
al-Qusyairi berkata bahwa ia adalah seorang yang selalu berusaha membersihkan
kotoran dalam jiwanya hingga kotoran tersebut tidak kembali lagi kepadanya. Dan
apa bila ia telah “bersih” ia jaga kebersihan tersebut dengan selalu mengingat
Allah. Sementara itu perkara apapun yang terjadi di sekitarnya tidak memberikan
pengaruh kepadanya.
Abu
al-Hasan al-Farghani berkata: Saya bertanya kepada Abu Bakr asy-Syibli:
“Siapakah seorang sufi itu?”, beliau menjawab: “Dia adalah seorang yang berada
di jalan Rasulullah, meletakan dunia di belakang punggungnya, dan menundukkan
hawa nafsunya dengan kegetiran-kegetiran”. Aku katakan kepadanya: “Ini adalah
seorang sufi, lantas apakah yang disebut dengan tasawuf?” Ia menjawab:
“Memurnikan hati hanya bagi Allah Yang mengetahui segala hal yang gaib”. Aku
berkata: “Yang lebih bagus dari itu, apa definisi tasawuf?” Ia menjawab:
“Mengagungkan segala perintah Allah dan bersikap lemah lembut kepada semua
hamba Allah”. Aku berkata: “Lebih bagus dari definisi tadi siapakah seorang
sufi?” Ia menjawab: “Sufi adalah seorang yang menjauh dari segala kekeruhan,
mensucikan diri dari segala kotoran, memenuhi hati dengan ingat kepada Allah,
dan tidak ada perbedaan baginya antara emas dan debu”.
Imam Ma’ruf al-Karkhi berkata:
“Tasawuf adalah berusaha meraih hakekat dan meninggalkan segala apa yang berada
di tangan para makhluk”.
Imam Abu Ali ad-Daqqaq berkata:
“Pendapat yang paling baik tentang definisi tasawuf adalah perkataan mereka
yang menyebutkan bahwa tasawuf adalah sebuah jalan yang tidak dapat dilewati
kecuali oleh orang-orang yang telah dibersihkan ruh mereka oleh Allah dari
kotoran-kotoran”.
Imam Abu Ali ar-Raudzabari, salah
seorang pemuka sufi pada masanya, ketika ditanya siapakah seorang sufi, beliau
berkata: “Dia adalah seorang yang berpakaian wol dalam kesucian jiwanya,
memberikan makanan-makanan pahit bagi hawa nafsunya, menjadikan dunia di
belakang punggungnya, dan mencontoh Rasulullah dalam segala perbuatannya”.
Imam Abu al-Hasan an-Nauri
ketika ditanya tentang definisi tasawuf, dengan sangat simpel mejawab: “Tasawuf
adalah meninggalkan segala keinginan hawa nafsu”.
Dari beberapa penjelasan definisi tasawuf di atas dapat
ditarik benang merah bahwa pada dasarnya ajaran-ajaran tasawuf murni
berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Seorang sufi adalah seorang yang konsisten
mengerjakan dan berpegang teguh dengan syari’at Allah, mengekang hawa nafsunya
pada makan, minum, cara berpakaian, dan hal-hal lainnya. Dalam perkara-perkara
duniawi seorang sufi hanya mengambil kadar tertentu secukupnya. Ia habiskan
setiap waktu dari kehidupannya dalam beribadah kepada Allah; dengan
melaksanakan segala kewajiban-kewajiban, menjauhi segala larangan-langan-Nya
dan memperbanyak perbuatan-perbuatan yang sunnah.
B. Arti Kata Tasawuf Hakikat Dan
Hukumnya Menurut Islam Serta Penyimpangan Dalam Tasawuf
Arti tasawuf dalam agama ialah
memperdalam ke arah
bagian rohaniah, ubudiah,
dan perhatiannya tercurah
seputar permasalahan itu. Agama-agama di
dunia ini banyak
sekali yang menganut
berbagai macam
tasawuf, di antaranya
ada sebagian orang India
yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri
sendiri demi membersihkan jiwa dan meningkatkan
amal ibadatnya.
Dalam agama
Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi
para pendeta. Di Yunani muncul
aliran Ruwagiyin. Di Persia ada aliran yang bernama Mani'; dan di
negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrim di bidang
rohaniah.
Kemudian Islam datang dengan membawa
perimbangan yang paling
baik
di antara kehidupan
rohaniah dan jasmaniah
serta penggunaan akal. Maka, insan itu sebagaimana
digambarkan oleh agama,
yaitu terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masingdari
tiga unsur itu diberi hak sesuai
dengan kebutuhannya.
Ketika Nabi
saw. melihat salah
satu sahabatnya berlebih-lebihan dalam salah satu
sisi, sahabat itu segera ditegur. Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin
Amr bin Ash.
Ia berpuasa terus
menerus tidak pernah
berbuka, sepanjang malam
beribadat, tidak pernah
tidur, serta
meninggalkan istri
dan kewajibannya. Lalu
Nabi saw.
menegurnya dengan sabdanya:
"Wahai Abdullah,
sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk
bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka,
masing-masing ada haknya."
Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya
kepada istri-istri Rasul saw. mengenai
ibadat beliau yang luar biasa. Mereka
(para istri Rasulullah) menjawab, "Kami amat jauh daripada Nabi saw. yang
dosanya telah diampuni
oleh Allah swt,
baik dosa yang
telah lampau maupun dosa yang
belum dilakukannya." Kemudian salah seorang di antara
mereka berkata, "Aku akan beribadat sepanjang malam." Sedang yang lainnya
mengatakan, "Aku tidak akan menikah."
Kemudian hal itu sampai terdengar oleh
Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah saw. berbicara di hadapan mereka.
Sabda beliau:
"Sesungguhnya aku ini lebih
mengetahui daripada kamu
akan makrifat Allah dan aku lebih takut
kepada-Nya daripada kamu; tetapi
aku bangun, tidur, berpuasa,
berbuka, menikah, dan sebagainya; semua
itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku
ini, maka ia
tidak termasuk golonganku."
Karenanya, Islam
melarang melakukan hal-hal
yang
berlebih-lebihan dan
mengharuskan mengisi tiap-tiap
waktu luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta
menghayati setiap bagian dalam hidup ini. Munculnya sufi-sufi
di saat kaum
Muslimin umumnya terpengaruh pada
dunia yang datang
kepada mereka, dan terbawa
pada pola pikir
yang mendasarkan semua
masalah dengan pertimbangan logika. Hal itu
terjadi setelah masuknya negara-negara
lain di bawah kekuasaan mereka.
Berkembangnya ekonomi
dan bertambahnya pendapatan
masyarakat, mengakibatkan mereka
terseret jauh dari apa yang dikehendaki
oleh Islam yang sebenarnya (jauh
dari tuntutan Islam).
Iman dan ilmu agama
menjadi falsafah dan
ilmu kalam (perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang
tidak lagi
memperhatikan hakikat dari segi
ibadat rohani. Mereka hanya memperhatikan dari segi
lahirnya saja.
Sekarang ini,
muncul golongan sufi
yang dapat mengisi kekosongan pada
jiwa masyarakat dengan
akhlak dan sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan iman, semuanya
hampir menjadi perhatian dan
kegiatan dari kaum sufi. Mereka para tokoh
sufi sangat berhati-hati
dalam meniti
jalan di atas garis yang telah
ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah.
Bersih dari berbagai pikiran dan
praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena
pengaruh mereka, banyak
orang yang durhaka dan lalim
kembali bertobat karena
jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia
Islam, yang berupa kekayaan besar dari
peradaban dan ilmu, terutama di
bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam rohani, semua itu tidak dapat diingkari. Tetapi, banyak pula di antara
orang-orang sufi itu terlampau mendalami
tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang lurus dan
mempraktekkan teori di
luar Islam, ini
yang dinamakan Sathahat
orang-orang sufi; atau
perasaan yang
halus dijadikan sumber hukum mereka.
Pandangan mereka dalam
masalah pendidikan, di
antaranya ialah seorang
murid di hadapan gurunya harus
tunduk patuh ibarat mayat di tengah-tengah orang
yang memandikannya.
Banyak dari golongan Ahlus
Sunnah dan ulama
salaf yang menjalankan
tasawuf, sebagaimana diajarkan
oleh Al-Qur'an; dan
banyak pula yang
berusaha meluruskan dan mempertimbangkannya dengan
timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Di antaranya ialah Al-Imam
Ibnul Qayyim yang
menulis sebuah buku yang berjudul:
"Madaarijus-Saalikin ilaa Manaazilus-Saairiin,"
yang artinya "Tangga bagi Perjalanan Menuju ke Tempat
Tujuan." Dalam buku tersebut diterangkan mengenai ilmu tasawuf,
terutama di bidang
akhlak, sebagaimana buku
kecil karangan Syaikhul
Islam Ismail
Al-Harawi Al-Hanbali,
yang menafsirkan dari
Surat Al-Fatihah, "Iyyaaka na'budu
waiyyaaka nastaiin."
Kitab tersebut
adalah kitab yang paling baik
bagi pembaca yang ingin mengetahui masalah
tasawuf secara mendalam. Sesungguhnya,
tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya dan boleh tidak
memakainya, kecuali ketetapan
dan hukum-hukum dari kitab Al-Qur'an dan
Sunnah Rasulullah saw.
Kita
dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang murni dan jelas, misalnya ketaatan
kepada Allah swt, cinta kepada sesama
makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan
dan pencegahannya, serta
perhatian mereka dalam meningkatkan
jiwa ke tingkat yang murni.
Disamping itu,
menjauhi hal-hal yang
menyimpang dan terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana
diterangkan oleh tokoh sufi yang terkenal, yaitu
Al-Imam Al-Ghazali. Melalui ulama ini,
dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama
ilmu akhlak, penyakit jiwa dan
pengobatannya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Agama-agama di dunia
ini banyak sekali
yang menganut berbagai macam
tasawuf, di antaranya
ada sebagian orang India yang amat fakir. Mereka
condong menyiksa diri sendiri demi membersihkan jiwa dan
meningkatkan amal ibadatnya. Sedangkan dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya
bagi para
pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin.
Di Persia ada
aliran yang bernama Mani'; dan di negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrim di bidang
rohaniah, Kemudian Islam datang dengan membawa
perimbangan yang paling baik di antara
kehidupan rohaniah dan
jasmaniah serta penggunaan akal.
2.
Tasawuf merupakan salah satu
bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani
manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Ia mencakup berbagai
jawaban atas berbagai kebutuhan manusia yang bersifat lahiriyah muapun bathiniyah
(esoterik).
3.
Terdapat banyak tokoh yang mendefinisikan arti tasawuf
diantaranya yaitu :
a. Imam al-Junaid al-Baghdadi yang
mendefinisikan :
“Tasawuf adalah sebuah nama yang mengandung sepuluh pokok
ajaran. Pertama; menyedikitkan benda-benda duniawi dan tidak memperbanyaknya.
Dua; berserah diri kepada Allah. Tiga; cinta kepada ketaatan dengan mengerjakan
segala hal yang disunnahkan. Empat; sabar dari kehilangan dunia dengan tidak
mengeluh dan meminta-minta. Lima; memilih-milih sesuatu ketika hendak mengambil
atau mengerjakannya. Enam; Hanya sibuk dengan Allah dari segala apapun. Tujuh;
banyak melakukan dzikir khafyy. Delapan; ikhlas dalam segala perbuatan
hanya karena Allah saja. Sembilan; keyakinan yang kuat. Sepuluh; tenang dengan
Allah ketika kedatangan rasa gelisah dan dalam keterasingan”.
b. Imam Ma’ruf al-Karkhi berkata:
“Tasawuf adalah berusaha meraih hakekat dan meninggalkan segala apa yang berada
di tangan para makhluk”.
c. Imam Abu Ali ad-Daqqaq berkata:
“Pendapat yang paling baik tentang definisi tasawuf adalah perkataan mereka
yang menyebutkan bahwa tasawuf adalah sebuah jalan yang tidak dapat dilewati
kecuali oleh orang-orang yang telah dibersihkan ruh mereka oleh Allah dari
kotoran-kotoran”.
d. Imam Abu Ali ar-Raudzabari, salah
seorang pemuka sufi pada masanya, ketika ditanya siapakah seorang sufi, beliau
berkata: “Dia adalah seorang yang berpakaian wol dalam kesucian jiwanya,
memberikan makanan-makanan pahit bagi hawa nafsunya, menjadikan dunia di
belakang punggungnya, dan mencontoh Rasulullah dalam segala perbuatannya”.
e. Imam Abu al-Hasan an-Nauri ketika
ditanya tentang definisi tasawuf, dengan sangat simpel mejawab: “Tasawuf adalah
meninggalkan segala keinginan hawa nafsu”.
4.
Dari beberapa penjelasan definisi tasawuf di atas dapat
ditarik benang merah bahwa pada dasarnya ajaran-ajaran tasawuf murni
berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Seorang sufi adalah seorang yang konsisten
mengerjakan dan berpegang teguh dengan syari’at Allah, mengekang hawa nafsunya
pada makan, minum, cara berpakaian, dan hal-hal lainnya. Dalam perkara-perkara
duniawi seorang sufi hanya mengambil kadar tertentu secukupnya. Ia habiskan
setiap waktu dari kehidupannya dalam beribadah kepada Allah; dengan
melaksanakan segala kewajiban-kewajiban, menjauhi segala larangan-langan-Nya dan
memperbanyak perbuatan-perbuatan yang sunnah.
5.
Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi terlampau
mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang lurus dan mempraktekkan
teori di luar
Islam, ini yang dinamakan Sathahat
orang-orang sufi; atau
perasaan yang halus dijadikan sumber hukum mereka.
6.
Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai
pandangannya dan boleh tidak
memakainya, kecuali ketetapan
dan hukum-hukum dari kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. Kita sebagai orang awam pasti belum
begitu paham tentang ini semua, kita dapat mengambil
dari ilmu para sufi pada bagian yang murni dan jelas, misalnya ketaatan
kepada Allah swt, cinta kepada
sesama makhluk, makrifat
akan kekurangan yang ada pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat
dari setan dan pencegahannya, serta
perhatian mereka dalam meningkatkan jiwa ke tingkat yang
murni.
7.
Disamping itu, menjauhi
hal-hal yang menyimpang
dan terlampau berlebih-lebihan,
sebagaimana diterangkan oleh tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam
Al-Ghazali. Melalui ulama ini,
dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama ilmu akhlak, penyakit
jiwa dan pengobatannya.
B. Kritik dan Saran
Dalam
makalah ini kami sebagai penulis dan penyusun menyadari terdapat berbagaimacam
kekurangan dalam makalah ini, kami sangat menghimbau bagi para pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang membangun agar kami dapat mempelajari
kekurangan yang terdapat dalam makalah ini dan juga dapat memperbaiki segala kekurangannya
agar tidak terulang kembali kesalahan yang sama dalam pembuatan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hakikat dari tasawuf Dr. Yusuf Al-Qardhawi
FATAWA QARDHAWI, Permasalahan,
Pemecahan dan Hikmah
Penerbit Risalah Gusti
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177
Comments
Post a Comment